Anggap Kejagung Lakukan Abuse of Power, Tom Lembong Minta Status Tersangka Digugurkan
Anggap Kejagung Lakukan Abuse of Power, Tom Lembong Minta Status Tersangka Digugurkan/Foto: Freepik
Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menggugurkan status tersangka kasus dugaan korupsi impor gula tahun 2015-2016.
Tom Lembong menganggap Kejagung telah melakukan abuse of power sehingga dirinya meminta status tersangka digugurkan.
Tom Lembong Anggap Kejagung Lakukan Abuse of Power
Sidang praperadilan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/11/2024). Tom Lembong bertindak sebagai pemohon dan Kejaksaan Agung sebagai termohon.
Pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, mengatakan penetapan tersangka Tom Lembong oleh Kejagung tidak sah. Dia menilai Kejagung telah bersikap sewenang-wenang.
"Bahwa alasan pokok diajukan praperadilan ini didasarkan pada terjadinya kesewenang-wenangan, abuse of power dan pelayanan hukum acara pidana yang dilakukan termohon dalam proses penetapan tersangka dan penahanan Thomas Trikasih Lembong yang dalam hal ini disebut pemohon," kata Ari.
Ari menyebut ada sejumlah kesalahan dalam menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka hingga ditahan. Pertama, Ari menyebut Kejagung tidak memberikan kesempatan kepada Tom Lembong untuk menunjuk pengacaranya sendiri saat ditetapkan tersangka. Dia juga menyebut penetapan tersangka terhadap Tom Lembong tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.
"Penetapan tersangka pemohon tidak didasarkan pada bukti permulaan berupa minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP," ujarnya.
Ari mengatakan Tom Lembong yang sudah tidak menjabat sebagai Menteri Perdagangan sejak 27 Juli 2016. Sementara, kasus yang diusut Kejagung dan menjadi dasar penetapan tersangka Tom Lembong berada dalam rentang tahun 2015 sampai 2023. Tom Lembong meminta Kejagung memeriksa Menteri Perdagangan setelah Tom Lembong terkait kasus dugaan korupsi impor gula.
"Pemohon sudah tidak menjabat sebagai Menteri Perdagangan sejak tanggal 27 Juli 2016 sehingga sesuai dengan Surat Penetapan tersangka Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda tindak pidana khusus dinyatakan di situ penyidikan importasi gula Kementerian Perdagangan tahun 2015 sampai dengan 2023 sehingga sudah selayaknya Menteri-menteri Perdagangan lain juga harus diperiksa dalam perkara ini," ujar Ari.
Kasus dugaan korupsi dalam impor gula pada 2015-2016 ini baru menjerat dua tersangka. Keduanya adalah Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015-2016 dan Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI).
Kasus Impor Gula Ilegal Tom Lembong Rugikan Negara dan Masyarakat
Dalam kasus ini ada beberapa istilah yang harus dipahami, yaitu gula kristal mentah (GKM), gula kristal rafinasi (GKR), dan gula kristal putih (GKP). Mudahnya, GKM dan GKR adalah gula yang dipakai untuk proses produksi, sedangkan GKP dapat dikonsumsi langsung.
Berdasarkan aturan yang diteken Tom Lembong sendiri saat menjadi Mendag, hanya BUMN yang diizinkan melakukan impor GKP, itu pun harus sesuai kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian serta dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Sedangkan dalam perkara ini--pada 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP, seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun, menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.
Sedangkan dalam perkara ini, pada 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP, seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun, menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.
Jaksa mengatakan Tom Lembong menekan surat penugasan ke PT PPI untuk bekerja sama dengan swasta mengolah GKM impor itu menjadi GKP. Total ada sembilan perusahaan swasta yang disebutkan, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan terakhir PT KTM.
Setelah perusahaan swasta itu mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membelinya. Padahal yang terjadi, menurut jaksa, GKP itu dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta itu ke masyarakat melalui distributor dengan angka Rp 3.000 lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET).