Ahok Diperiksa KPK Terkait Dugaan Korupsi Pengadaan LNG Pertamina
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menyelidiki kasus besar yang melibatkan PT Pertamina (Persero) dalam dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG). Pemeriksaan terbaru dilakukan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini menjabat Komisaris Utama Pertamina periode 2019–2024.
Ahok diperiksa pada Kamis, 9 Januari 2025, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan. Fokus utama pemeriksaan adalah keterlibatan Dewan Komisaris (Dekom) dalam memberikan arahan kepada Direksi untuk menelaah sejumlah kontrak pengadaan LNG yang diduga merugikan negara hingga USD 337 juta.
"Kami mendalami peran Dewan Komisaris, termasuk instruksi mereka kepada Direksi terkait pengkajian enam kontrak LNG," ujar Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, dalam pernyataan resminya, Sabtu, 11 Januari 2025.
Penelusuran KPK: Peran Saksi-Saksi Penting
Dalam upaya mengungkap kasus yang terjadi dalam rentang waktu 2011–2021 ini, KPK juga memanggil sejumlah saksi yang memiliki peran strategis di Pertamina. Setidaknya tujuh saksi dari berbagai posisi telah dimintai keterangan untuk memperjelas duduk perkara.
Sulistia, yang pernah menjabat Sekretaris Direktur Gas Pertamina pada 2012, diperiksa terkait dugaan manipulasi Risalah Rapat Direksi (RRD) yang menjadi dasar pembelian LNG impor dari Amerika Serikat.
Chrisna Damayanto, Direktur Pengolahan Pertamina periode 2012–2014, memberikan informasi mengenai rencana kebutuhan LNG untuk kilang.
Ellya Susilawati, Manager Korporat Strategis PT Pertamina Power, dimintai keterangan terkait prosedur pembelian LNG yang berlaku.
Edwin Irwanto Widjaja, Business Development Manager pada 2013–2015, diinvestigasi karena diduga tidak menyerahkan kajian pengadaan LNG ke Direktorat Investasi dan Manajemen Risiko.
Dody Setiawan, VP Treasury Pertamina pada 2022, memberikan penjelasan tentang transaksi penjualan LNG.
Nanang Untung, Senior Vice President Gas Pertamina pada 2011–2012, diperiksa terkait proses awal pembelian LNG di tahun 2012.
Huddie Dewanto, yang menjabat VP Financing pada 2011–2013, turut memberikan informasi penting.
Kasus yang Membuka Luka Lama
Kasus pengadaan LNG ini bukanlah hal baru. Nama Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama Pertamina, sudah lebih dulu disebut dalam kasus serupa. Ia divonis bersalah pada 2024 atas tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar USD 113,8 juta. Kerugian ini terjadi akibat kontrak dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC, sebuah perusahaan asal Amerika Serikat.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 24 Juni 2024 menjatuhkan hukuman berat kepada Karen berupa 9 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. "Apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," kata Hakim Maryono saat membacakan vonis di PN Tipikor, Jakarta Pusat.
Penetapan Tersangka Baru
Pada Juli 2024, KPK menetapkan dua tersangka baru berinisial HK dan YA. Mereka adalah penyelenggara negara yang diduga terlibat dalam kerugian negara akibat pengadaan LNG ini. Penetapan tersebut merupakan hasil dari pengembangan penyidikan sebelumnya.
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas dalam tata kelola BUMN. Sebagai perusahaan milik negara yang strategis, Pertamina diharapkan menjadi contoh dalam menjalankan operasional yang bersih dari praktik korupsi.
Langkah KPK yang terus menggali bukti dan memeriksa para pihak terkait memberikan secercah harapan kepada publik. Dengan nilai kerugian yang mencapai ratusan juta dolar, kasus ini menjadi ujian besar bagi integritas penegakan hukum di Indonesia.
Menanti Titik Terang
Dugaan korupsi pengadaan LNG di Pertamina adalah salah satu skandal terbesar dalam sektor energi Indonesia. Ketika investigasi terus berjalan, masyarakat berharap kasus ini menjadi titik balik dalam memperbaiki tata kelola perusahaan milik negara. Apakah keadilan akan ditegakkan sepenuhnya? Semua mata kini tertuju pada upaya KPK dalam mengungkap kebenaran di balik skandal ini.